Jumat, 23 September 2016

Pecandu semesta

Di putihnya awan menyapu puncak - puncak bukit, di biru laut yang pecah jadi buih-buih. Seketika kembalikan manusia ke hakekat asalnya sebagai pengembara. Gemericing bunyi-bunyian bertahan dari detak jantung para petualang. Merindukan kembali ketika mentari semakin tinggi, dan kita berteduh di antara cemara yang menaungi teduh. Menampar kembali sisi humanis yang mulai terkikis. Kita merunduk seraya hampir mencium lutut sendiri, sambil terus melangkah menuju atap langit. Serupa dingin yang menjadi suram, selayak menembus hutan yang selalu kelam. Penuh misteri, diiring peluh pelari.
 
Di sini, Tempat dimana alam menjadi pandu, dan ilalang menuntun langkahmu. Menikmati udara tipis yang menyekat nafasmu, mematikan ujung jari jemari. Kita melupakan parau dan keangkuhan. Membenturkan Galau dan kerapuhan. Mengisi kembali jiwa yang hampir habis ditelan kota. 
 
Jiwa - jiwa berlomba mencipta sinestesia, ditepian jurang kita bersenandung merdu. Mengingat kembali jeri lelah berjalan sambil bunuh waktu. Seolah auto pilot mode kaki kita.
 
Saya menghormatimu wahai semesta, dan anakmu alam yang sentosa. Detik - detik akan berganti, lalu hari diganti hari. Saya akan merindukan malam gemintang di pelataran Sembalun, atau sekedar menghirup udara bebas di Plawangan.
 
Saya dan Segara kini sudah bertegur sapa. Menjunjung harga diri kita seperti terus naik hingga puncaknya, Lelah, kadang mengantuk, tapi harus tetap bergerak.
 
Saya pecandu semesta,
Sedikit lagi..
sedikit lagi..
Harus bertahan hingga puncaknya!
 
Rinjani, Mei 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar